Rabu, 18 April 2012

Permasalahan SDM Indonesia dalam Persaingan Global

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan. Pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat. Sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.

Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai keterampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.

1.2     Rumusan Masalah

a.       Bagaimana keadaan tenaga kerja di Indonesia pada saat ini ?
b.      Kebijakan apa saja yang ada dalam menghadapi masalah ketenagakerjaan ?

1.3     Tujuan Masalah

a.       Memberikan gambaran keadaan tenaga kerja indonesia sekarang ini.
b.   Dengan mengetahui masalah ketenaga kerjaan, kita akan mudah untuk   menentukan kebijakan apa yang akan kita pakai nantinya.
c.      Agar mampu memberi solusi atas masalah-masalah yang ada pada angkatan kerja.
d.  Memungkinkan terciptanya lapangan kerja baru, sehingga meningkatkan pendapatan nasional dan mengurangi pengangguran.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1     Kondisi Sumber Daya Manusia Indonesia

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya kita harus tahu kondisi sumber daya manusia indonesia sekarang ini dan permasalahan apa yang dialami indonesia mengenai SDM-nya. Kurang lebih permasalahan SDM indonesia adalah:

1.   Adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.

2. Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.

3.  Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.

4.    Lemahnya perguruan tinggi dalm menciptakan SDM yang handal profesional dan punya daya saing tinggi. Ini ditandai dengan Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana. Hal tersebut merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.

ruang kelas yang todak layak
5.  Belum adanya kesadaran bagi pemerintah bangsa Indonesia untuk memperbaik SDM Indonesia. Dilihat dari rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan tidak lebih dari 12% pada pemerintahan di era reformasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional

Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi global.


1.2     Perbaikan Iklim Ketenaga Kerjaan

Dengan memperhatikan kondisi permasalahan ketenagakerjaan tersebut, Pemerintah harus melakukan perbaikan iklim ketenagakerjaan. Iklim ketenagakerjaan yang semakin baik merupakan salah satu upaya untuk mendorong iklim investasi. Dengan demikian, investasi dapat tumbuh dan membuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan perbaikan iklim ketenagakerjaan, kebijakan yang ditempuh adalah sebagai berikut:

 
1.  Kebijakan pasar kerja yang lebih luwes terus diupayakan melalui penyempurnaan dan perbaikan peraturan ketenagakerjaan, peningkatan fungsi lembaga bipartit dalam pelaksanaan negosiasi hubungan industrial agar suasana yang seimbang dalam perundingan antara pekerja dan pemberi kerja dapat tercipta.

2.   Dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja memasuki pasar kerja, kualitas dan produktivitas tenaga kerja ditingkatkan antara lain dengan mengembangkan standar kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja, menyelenggarakan pelatihan kerja berbasis kompetensi, dan meningkatkan keterampilan para penganggur.

3.  Dalam rangka memberikan akses pekerjaan kepada para penganggur, program pemerintah yang dapat menciptakan kesempatan kerja harus disempurnakan, serta didukung oleh pengembangan pusat-pusat pelayanan informasi ketenagakerjaan melalui bursa kerja on-line (BKOL). Bagi tenaga kerja yang ingin bekerja ke luar negeri, pemerintah terus menyempurnakan sistem dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI.
2.3     Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Langkah kebijakan yang ditempuh dilaksanakan melalui program ketenagakerjaan, yaitu, sebagai berikut:
1.   Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja, adalah dengan:
a.    menyempurnakan peraturan ketenagakerjaan
b.    mengkonsolidasikan program penciptaan kesempatan kerja
c.    mengembangkan pusat pelayanan informasi ketenagakerjaan
d.    meningkatkan pelayanan TKI ke luar negeri dengan murah, mudah, dan cepat
e.    melakukan kerja sama pembangunan sistem informasi terpadu pasar kerja luar negeri
f.     meningkatkan fungsi perwakilan RI dalam perlindungan TKI ke luar negeri
2.   Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja, adalah dengan
a.    meningkatkan program pelatihan berbasis kompetensi
b. meningkatkan fungsi dan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi
c.    meningkatkan profesionalisme tenaga kepelatihan dan instruktur BLK
d.    meningkatkan dan memperbaiki sarana dan prasarana BLK
e.    menyelenggarakan program pelatihan pemagangan dalam negeri dan luar negeri
f.     memfasilitasi lembaga pendidikan dan pelatihan kerja
g.    menyusun dan mengembangkan standar kompetensi kerja nasional
h.    mengharmonisasikan regulasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi
i.      mempercepat pengakuan/rekognisi sertifikat kompetensi tenaga kerja
j.      menguatkan kelembagaan BNSP
k.     mengembangka kelembagaan produktivitas dan pelatihan kewirausahaan
3. Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja dilakukan dengan:
a.   mendorong pelaksanaan negosiasi bipartit antara serikat pekerja dan pemberi kerja
b.    meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pengawas hubungan industrial;
c.    menyeberluaskan pemahaman dan penyamaan persepsi tentang peraturan dan  kebijakan ketenagakerjaan
d. meningkatkan pengawasan, perlindungan dan penegakan hukum serta keselamatan dan kesehatan kerja
e.     membina syarat kerja dan kesejahteraan pekerja
f.      mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja
g.     mengurangi pekerja anak dalam rangka menunjang program keluarga harapan (PKH).
2.3.1           Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja
1.   Penyederhanaan prosedur pemberian visa dan izin tinggal bagi investor atau tenaga kerja asing dalam upaya mempercepat proses pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) dari sebelumnya 4 hari kerja menjadi 3 hari kerja dan pemberian kewenangan perpanjangan IMTA kepada daerah.
2.  Pemberdayaan masyarakat, khususnya penganggur dan setengah penganggur melalui pemberian peluang pekerjaan kepada lebih dari 1,0 juta orang penganggur/setengah penganggur. Kegiatan yang dilakukan antara lain:
 
a.   pembangunan infrastruktur skala kecil di beberapa kabupaten/kota, daerah tertinggal, dan lokasi musibah bencana alam serta kantong-kantong pengangguran dan kemiskinan melalui kegiatan padat karya produktif
b. penerapan teknologi tepat guna untuk membantu usaha skala mikro/kecil/perorangan
c.    pembinaan wirausaha baru
d.    pendampingan usaha mandiri
3.   Penyelenggaraan job fair dengan menempatkan tenaga kerja lebih dari 100.000 orang dan penyelenggaraan bursa kerja di daerah dengan menempatkan pekerja di perusahaan dan penempatan ke beberapa daerah yang membutuhkan lebih dari 1,0 juta orang, serta penempatan tenaga kerja penyandang cacat lebih dari 3.000 orang.
Untuk memfasilitasi TKI ke luar negeri, langkah-langkah yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
 
1.  Penempatan TKI ke luar negeri untuk pekerja lebih dari 2,0 juta orang. Penempatan di kawasan Asia Pasifik sekitar 1,0 juta orang, kawasan Timur Tengah dan Afrika lebih dari 900.000, dan kawasan Eropa dan Amerika sekitar 200.000
2.  Fasilitasi penyelesaian permasalahan TKI melalui advokasi dan pembinaan. Kasus yang sudah diselesaikan sekitar 80 persen
3.  Pelayanan penempatan melalui job fair di 12 lokasi serta membangun bursa kerja online di 25 lokasi provinsi/kabupaten/kota untuk mengakses peluang kerja ke luar negeri
4.   Pendaftaran ulang perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta sebanyak 447 perusahaan, penerbitan kembali surat izin penempatan bagi 370 perusahaan, dan mencabut izin perusahaan penempatan TKI yang tidak memenuhi syarat sebanyak 104 perusahaan
5.  Pembentukan atase ketenagakerjaan untuk 6 atase ketenagakerjaan yaitu di Malaysia, Hongkong, Riyadh, Jeddah, Abu Dhabi, dan Kuwait; dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan negara Yordania, Kuwait, Qatar, dan Syria.
2.3.2           Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja
1.  Pelatihan kerja bagi 184.548 orang, meliputi pelatihan berbasis kompetensi 25.130 orang, berbasis lokal 71.289 orang, subsidi program 69.129 orang, pemagangan dalam negeri 6.949 orang, pemagangan luar negeri 7.130 orang, dan kewirausahaan 4.615 orang. Sekitar 147.393 orang atau 80 persen dari peserta pelatihan dapat terserap di berbagai sektor/dunia usaha
2. Revitalisasi BLK menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi secara bertahap dilakukan dengan mengembangkan sarana dan prasarana pelatihan, peremajaan peralatan pelatihan, pendidikan dan pelatihan instruktur, pengembangan standar kompetensi kerja nasional, dan peningkatan kualitas manajemen BLK. Salah satu hasil terpenting revitalisasi BLK adalah fasilitasi peralatan tempat uji kompetensi (TUK) untuk 7 kejuruan di 6 BLK
3.  Pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan profesionalisme instruktur sebanyak 3.064 orang
4.    Rehabilitasi sarana fisik 5 BLK unit pelaksana teknis daerah, dan pembangunan BLK baru di beberapa provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sulawesi Tengah
5. Penetapan 80 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) mencakup sektor pertanian dan perikanan (11 SKKNI), minyak dan gas (migas) dan listrik (16 SKKNI), industri manufaktur (10 SKKNI), pariwisata (4 SKKNI), keuangan perbankan (9 SKKNI), perhubungan dan telekomunikasi (7 SKKNI), kesehatan (3 SKKNI), konstruksi (1 SKKNI), dan jasa lainnya (19 SKKNI)
6. Kelembagaan BNSP, antara lain dengan pelatihan asesor lisensi, asesor kompetensi, dan master assesor masing-masing sebanyak 177 orang, 2.973 orang dan 124 orang, serta pembentukan 27 lembaga sertifikasi profesi (LSP) berlisensi
7. Pengembangan kelembagaan produktivitas melalui kegiatan pengembangan kelembagaan produktivitas bagi 123 perusahaan, serta pembinaan dan pemberian penghargaan Paramakarya Produktivitas bagi 4 perusahaan kecil dan 5 perusahaan menengah yang berkinerja terbaik.


2.3.3           Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja
1.      Dialog sosial melalui berbagai media atau forum tripartit antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah, serta mendorong harmonisasi antara pekerja dan pengusaha melalui forum bipartit
2.      Penyederhanaan proses pengesahan peraturan perusahaanm dari 14 hari kerja menjadi 7 hari kerja dan proses pendaftaran perjanjian kerja bersama (PKB) dari 7 hari kerja menjadi 6 hari kerja dalam rangka upaya pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Bidang Ketenagakerjaan
3.      Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan tentang pengawasan, jaminan sosial, perselisihan hubungan industrial, keselamatan dan kesehatan kerja di 33 provinsi
4.      Pekerja dan perusahaan yang menjadi peserta jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) pada tahun 2007 berjumlah 7.941.017 pekerja peserta aktif, 15.788.933 pekerja nonaktif, 90.967 perusahaan aktif, dan 68.516 perusahaan non-aktif. Sampai dengan triwulan I tahun 2008 terdapat 306.416 pekerja dan 3.465 perusahaan yang menjadi peserta baru Jamsostek. Jangkauan perlindungan Jamsostek juga diperluas dari semula hanya bagi tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja menjadi tenaga kerja luar hubungan kerja. Pada tahun 2007 jumlah peserta Program Jamsostek Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja sebesar 148.266 peserta dan kemudian meningkat 9.253 peserta pada tahun 2008 menjadi 157.519 peserta
5.      Pembentukan 31 pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di seluruh Indonesia dan telah diresmikan secara keseluruhan di Padang pada tanggal 14 Januari 2006 oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
6.      Pengangkatan 159 orang hakim ad-hoc pada pengadilan hubungan industrial dan Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Presiden Nomor 31/M/Tahun 2006 tanggal 6 Maret 2006, pengangkatan 1.021 mediator, 230 konsiliator dan 60 arbitrer untuk membantu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan
7.      Pembentukan peraturan perusahaan (PP) dan PKB yang sampai bulan Mei 2008 jumlahnya mencapai 39.603 unit PP dan 10.087 unit PKB
8.      Peningkatan kemampuan pegawai teknis hubungan industrial dan human resources development (HRD) perusahaan mengenai penyusunan struktur dan skala upah yang diikuti 98 orang
9.      Pembentukan 10.822 unit lembaga kerja sama (LKS) bipartit pada tahun 2007 dan jumlah tersebut meningkat 352 unit menjadi 11.234 unit LKS pada tahun 2008
10.  Penanganan jumlah kasus perselisihan hubungan industrial selama Januari—Mei 2008 mencapai 432 kasus. Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 1.533 orang. Dari 432 kasus tersebut, 271 kasus diselesaikan secara bipartit, 141 kasus secara mediasi, dan 20 kasus melalui pengadilan hubungan industrial
11.  Penambahan personel pengawas ketenagakerjaan sebanyak 780 orang sehingga menjadi 1.952 pengawas ketenagakerjaan dan penambahan pegawai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebanyak 60 orang sehingga menjadi 535 orang PPNS sampai bulan Juni 2008
12.  Pembinaan lembaga kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang terdiri 372 perusahaan jasa K3 dan 3.071 perusahaan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3), personel K3 yang terdiri atas 712 orang di tingkat ahli K3 dan 4.111 orang di tingkat operator, sertifikasi kompetensi personel keselamatan dan kesehatan kerja sebanyak 33.371 orang, pelatihan ahli kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sebanyak 2.083 orang, dan pelatihan operator K3 sebanyak 2.076 orang
13.  Pemberian penghargaan kepada perusahaan yang mempunyai kecelakaan nihil (zero accident) berjumlah 979 perusahaan
14.  Pembentukan zona bebas pekerja anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, pencegahan 10.245 anak untuk bekerja pada pekerjaan terburuk, dan penarikan pekerja anak dari pekerjaan terburuk
15.  Perluasan pembentukan komite aksi dan rencana aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerja terburuk untuk anak di 23 provinsi dan 78 kabupaten/kota, untuk mencegah anak yang bekerja pada pekerjaan terburuk bagi 29.863 anak 
 
BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup atau mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.
Untuk mengatasi banyaknya pengangguran terlebih dahulu kita harus memberi perhatian kepada anak-anak yang akan menjadi penerus bangsa ini. Pemerintah harusnya memberikan pendidikan yang baik, karena pendidikan di Indonesia masihlah banyak yang masih kurang dengan standar. Masih banyak bangunan sekolah yang tak layak dipergunakan, peralatan sekolah yang belum lengkap, dan lain-lain. Selain itu banyaknya penduduk miskin di Indonesia yang tidak menyekolahkan anak-anaknya karena masalah dana yang tidak mampu untuk mambayar biaya sekolah. Walaupun sudah mendapat BOS (Bantuan Oprasional Sekolah) dan Bea Siswa tetap saja tidak dapat untuk membeli peralatan belajar dan perlengkapan sekolah. Jadi pemerintah harus tanggap betapa pentingnya pendidikan itu. 
DAFTAR PUSTAKA

Hambatan UKM dalam Kegiatan Ekspor

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Masalah
Usaha kecil dan menengah merupakan pelaku bisnis yang bergerak pada berbagai bidang usaha, yang menyentuh kepentingan masyarakat. Berdasarkan data BPS (2008), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Semenrtara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.
Peran UKM dalam ekspor nonmigas mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp 75,45 triliun atau 19,4 persen terhadap total ekspor nasional pada tahun 2000, menjadi Rp 75, 86 triliun atau 19,9 persen terhadap total ekspor nasional pada tahun 2003. Berdasarkan data tersebut sebenarnya UKM mempunyai prospek yang cukup baik dan memilki potensi besar untuk dikembangkan. Hal ini didukung dengan beberapa produk UKM yang selama ini dikenal sebagai produk ekspor nonmigas dari negara kita, antara lain produk pertanian, perkebunan, perikanan, tekstil dan garmen, furniture, produk industry pengolahan, dan barang seni.
Namun, peran ekspor UKM relatif masih kecil, yang disebabkan UKM menghadapi berbagai hambatan dalam kegiatan ekspor tersebut. Oleh karena itu, produk UKM dalam kegiatan ekspor lebih banyak dilaksanakan oleh pengusaha-pengusaha besar atau eksportir yang mampu mereduksi, bahkan mengeliminasi hambatan-hambatan tersebut. Dalam upaya mereduksi atau bahkan mengeliminasi berbagai hambatan UKM dalam kegiatan ekspor tersebut, diperlukan dukungan pemerintah melalui suatu kebijakan yang implementatif.
1.3     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana kinerja UKM dalam kegiatan ekspor?
b.      Faktor-faktor apa saja yang menghambat UKM dalam kegiatam ekspor?
1.3     Tujuan Masalah
a.       Mengetahui kinerja UKM dalam kegiatan ekspor.
b.      Mengetahui faktor-faktor yang menghambat UKM dalam kegiatan ekspor.
c.       Sebagai masukan dalam kebijakan pemberdayaan UKM, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan ekspor produk UKM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Pengertian UKM (Usaha Kecil dan Menengah)
UKM yang berorientasi ekspor, menurut (Tambunan, 2003) diklasifikasikan menjadi dua, yakni Produsen Eksportir Langsung (Direct Exporter) dan Eksportir Tidak Langsung (Indirect Exporter).
1.  UKM Produsen Eksportir Langsung adalah UKM yang menghasilkan produk ekspor dan menjualnya secara langsung kepada pembeli dari luar negeri (buyer) atau importir.
2.   UKM Eksportir Tidak Langsung adalah UKM yang menghasilkan produk ekspor, yang melakukan kegiatan ekspor secara tidak secara langsung dengan buyer/importir, tetapi melalui agen perdagangan ekspor atau eksportir dalam negeri.

Jumlah UKM Produsen Ekspor hanya 0,19 persen dari total UKM di Indonesia. Sedangkan 99,81 persen UKM lainnya melakukan ekspor secara tidak langsung dan/atau hanya melakukan penjualan di pasar domestik. Pada kelompok UKM Produsen Ekspor, jumlah UKM yang melakukan ekspor sendiri hanya 8,7 persen, sedangkan 91,3 persen UKM lainnya kegiatan ekspor dilakukan oleh importir.
Apabila ditilik dari nilai pangsa ekspor, pangsa nilai ekspor UKM Eksportir Tidak Langsung sebesar 99,02 persen, sedangkan pangsa ekspor UKM Produsen Eksportir sebesar 0,98 persen. Namun demikian, tingkat perolehan keuntungan yang diperoleh UKM Produsen Eksportir lebih besar dibandingkan dengan UKM Eksportir Tidak Langsung. Usaha Kecil (UK) yang mempunyai peranan besar dalam ekspor adalah UK yang mengandalkan keahlian tangan (hand made), seperti kerajinan perhiasan dan ukiran kayu. Karakteristik tersebut merupakan keunggulan UK, di mana lebih banyak mengandalkan keterampilan tangan, sehingga cenderung bersifat padat karya. Usaha skala besar (UB) yang cenderung bersifat padat modal, tentunya akan sulit masuk ke dalam dunia usaha ini. Di sisi lain, hal ini memberikan gambaran pentingnya UK dalam penyerapan tenaga kerja,utamanya pada saat krisis ekonomi.
Negara tujuan utama ekspor UK secara umum adalah Singapura, namun bila ditilik menurut komoditas, negara tujuan ekspor relatif beragam. Tingginya nilai ekspor ke Singapura memberikan gambaran masih terdapat potensi peningkatan nilai tambah atau economic rent UK terhadap produk yang diekspor, jika dapat langsung mengekspor ke negara konsumen utama. Hal ini karena Singapura merupakan negara “transit ekspor”, artinya produk UK yang diekspor ke Singapura akan diekspor lagi ke negara lain. Walaupun hampir tidak terjadi perubahan orientasi negara tujuan ekspor, namun pangsa ekspor ke tiap negara tujuan antar waktu cenderung berfluktuatif.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi UKM berorientasi ekspor tidak dapat melakukan ekspor secara langsung, yaitu export trading problem dan financing problem.
1.    Export trading problem terjadi karena tingginya risiko kegiatan ekspor (baik risiko pembayaran maupun pengiriman barang), adanya tenggang waktu (time lag) dalam pembayaran, dan tingginya biaya ekspor.
2.  Financing problem terjadi karena terbatasnya modal yang dimiliki UKM dan finance and guarantee institution problem, yakni rendahnya dukungan lembaga pembiayaan dan penjaminan ekspor terhadap UKM. Kondisi tersebut menngakibatkan strategi pemasaran UKM cenderung menunggu pembeli, sehingga mekanisme perdagangan yang terjadi umumnya adalah buyer.s market.
Sementara itu, Hardono (2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya UKM memiliki hambatan yang bersifat klasik, yakni hambatan yang berkaitan dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), lemahnya manajemen usaha, rendahnya akses terhadap sumber pembiayaan dan pasar, serta rendahnya informasi dan teknologi yang dimilikinya. UKM yang memiliki hambatan dan kendala usaha berkaitan dengan ekspor diklasifikasikan menjadi dua, yakni internal dan eksternal. Hambatan internal adalah hambatan yang disebabkan kekurangan atau kelemahan yang melekat pada UKM itu sendiri. Hambatan eksternal adalah hambatan yang disebabkan adanya faktor luar yang tidak melekat pada UKM.
Beberapa aspek yang menjadi hambatan internal bagi UKM dalam kegiatan ekspor adalah :
a.   Masih rendahnya komitmen UKM dalam memenuhi pesanan pelanggan, baik lokal maupun mancanegara (on time delivery)
b.  Masih minimnya sistem managemen yang diterapkan UKM, khususnya dalam aspek produksi, administrasi, dan keuangan
c.  Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki UKM dalam rangka memenuhi pesanan
d.  Rendahnya kualitas SDM, sehingga dalam mengelola usahanya tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sangat rasional
e.   Terbatasnya modal yang dimiliki UKM, khususnya modal kerja
f.    Lemahnya jaringan komunikasi dan informasi dengan pihak-pihak terkait, seperti dalam pengadaan bahan baku, terkadang UKM hanya memiliki sumber terbatas, sehingga barang yang diperoleh harganya tinggi
g.   Rendahnya kemampuan UKM dalam riset dan pengembangan, sehingga belum memenuhi keinginan para buyer
Di sisi lain, terdapat beberapa aspek yang menjadi hambatan eksternal bagi UKM dalam kegiatan ekspor, yaitu :
a.    Tidak stabilnya pasokan dan harga bahan baku serta bahan pendukung lainnya
b.   Persyaratan dari buyer semakin tinggi, antara lain berkaitan dengan kualitas produk, kualitas lingkungan sosial, kualitas lingkungan kerja, harga yang bersaing, aspek ramah lingkungan
c. Masih adanya regulasi pemerintah yang kurang kondusif sehingga dapat menghambat laju ekspor UKM
d.   Rendahnya akses UKM terhadap pasar, antara lain meliputi permintaan produk, standar kualitas produk, ketepatan waktu pengiriman, dan persaingan harga
e.       Rendahnya akses UKM terhadap sumber pembiayaan, antara lain meliputi informasi skim kredit dan tingginya tingkat bunga
f.     Masih munculnya biaya-biaya siluman yang berkaitan dengan ransportasi, kepabeanan, dan keamanan
g.   Kesulitan memenuhi prosedur dan jangka waktu yang relatif lama untuk mematenkan produk bagi UKM
Permasalahan yang dihadapi UKM memang sangat kompleks, sehingga dibutuhkan berbagai pendekatan yang dapat mengurangi hambatan yang ada. Keputusan politik pemerintah di semua lini dan tingkatan yang berusaha memberdayakan UKM sudah tepat, mengingat potensi dan peran UKM terhadap pembangunan nasional. Hal yang penting dan mendasar adalah memberikan peluang yang lebih besar kepada para UKM dengan menekan atau mereduksi hambatan-hambatan yang muncul.
 
Pendekatan yang perlu dilakukan dalam mengurangi hambatan UKM dalam kegiatan ekspor, dapat ditempuh melalui upaya meningkatkan kemampuan finansial dan manajerial UKM, membangun jaringan pemasaran produk ekspor UKM, dan meningkatkan promosi produk ekspor UKM. Kebijakan/peraturan pemerintah yang kondusif dan keberpihakan yang signifikan dunia usaha, merupakan kunci keberhasilan dalam mereduksi hambatan UKM dalam kegiatan ekspor. Di samping itu, diperlukan pemetaan demand dan supply pada negara-negara tujuan ekspor. Hal ini akan sangat membantu UKM dalam menentukan jenis dan tujuan pasar produk ekspornya.


2.2     Sembilan Hambatan Bagi UKM dalam Mengembangkan Produksi

Menurut menteri Koperasi dan UKM, Syarief Hasan mengatakan,  ada tiga strategi prioritas untuk mengatasi hambatan yang dihadapi UKM dalam melakukan ekspor yaitu :
a.    perlunya pengem­bang­an infrastruktur pemasaran produk UKM.
b.   perluasan akses pem­biayaan oleh perbankan maupun lembaga keuangan lain dan pe­ngembangan pembiayaan untuk mendorong ekspor.
c. pengembangan kewira­­usahaan khususnya bagi kalangan sar­jana untuk menghasilkan UKM yang memiliki daya saing ke depan.

Hal itulah yang disampaikan Syarief  dalam pertemuan tingkat Menteri APEC bidang UKM, di Montana, Amerika Serikat,  20-21 Mei 2011.

Syarief mengungkapkan se­mua negara memberikan apre­sia­sinya karena kebijakan kredit Usa­ha Rakyat (KUR) yang dija­lan­kan berhasil dengan baik.  In­do­nesia, lanjutnya,  akan meng­gagas Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang diperuntukan untuk memperlancar kegiatan UKM di da­lam negeri. 

Berikut kutipan selengkapnya;
Apa yang menjadi hambatan UKM dalam melaksanakan ekspor?

Di dalam pertemuan tersebut, ada sembilan hambatan bagi UKM dalam mengembangkan pro­duksinya.
1.   masalah akses pem­bia­yaan
2.  keterbatasan ke­mam­puan internasional, yang diha­rapkan adanya keterikatan per­­dagangan dengan negara lain.
3. kesulitan memahami ketentuan, peraturan dan ke­bu­tuhan teknis yang dipersyaratkan
4.    perlu adanya keter­bu­kaan dan transparansi ling­kung­an bisnis.
5.    ketidakcukupan kebi­jak­an dan kerangka aturan yang mendukung perdagangan antar negara melalui e-commerce.
6. ketidakmampuan me­­lakukan perlindungan hak atas ke­kayaan intelektual; ketujuh,ma­halnya biaya transportasi. Ke­delapan, adanya penundaan ke­pa­beanan termasuk kesulitan me­ma­hami persyaratan dan do­ku­men kepabeanan yang komplek. Kesembilan, kesulitan dalam me­man­faatkan kemudahan tariff dan berbagai kesepakatan di bidang perdagangan. 

Apa kesepakatan untuk meng­atasi hambatan tersebut?

Pada dasarnya semuanya me­ng­inginkan agar diberikan ke­mudahan bagi SME (Small and Me­dium Enterprises) dan infor­masi tentang ekspor ke negara-negara tertentu agar lebih dibuka. Ini kesepakatan semua dan sepa­kat akses terhadap ekspor-impor dibuka melalui teknologi. Untuk itu kita sepakat menggunakan sis­tem computer yang terkait, se­perti manajemen komputerisasi untuk akses semua hal khususnya SME.

Bagaimana dengan micro soft loan?

Hal itu kami sampaikan juga da­lam pertemuan itu, bahwa kon­sep yang kita berikan menyang­kut tentang penjaminan, khusus­nya dalam KUR (Kredit Usaha Rak­yat). Beberapa negara pun me­miliki konsep yang sama, se­perti AS, Meksiko dan Kores Se­latan. Saya sampaikan juga, kita punya target tiap tahunnya adalah 20 trilyun dan KUR itu secara kenyataan sangat diminati oleh para pengusaha mikro kecil dan menengah. Hasil tersebut me­nu­rut beberapa negara peserta cu­kup signifikan jumlah yang kita tar­getkan dan ini bisa menjadi nilai tambah kita untuk terus me­ngem­bakan SME di Indonesia.

Anda melakukan pembicaraan bilateral dengan negara lain ter­kait SME ?

Ya, ada beberapa negara yang kita jalin kerja sama, salah satu­nya dengan Taiwan menyang­kut tentang pembinaan pelatihan te­naga kerja kepada TKI kita yang ada di sana. Kita akan mengem­bang­kan kewirausahaan bagi me­reka agar bisa menjadi wisa­usa­hawan dan pihak Taiwan mena­warkan kerjasama untuk pengem­bangan UKM memiliki pertum­­buhan tinggi (high growth SMEs) di Indonesia.

Indonesia akan bekerja sama dengan AS ?

Amerika memiliki rasio en­tre­preneur paling tinggi di antara se­mua negara, sehingga mereka me­miliki kemampuan dalam hal pe­ngembangan UKM di Indo­nesia. Lebih konkretnya, mereka akan memfasilitasi pengem­bang­an kewirausahaan tersebut me­lalui dua lembaga yang ber­pe­ngalaman, yaitu Koftman Foun­da­tion for Entrepreneurship dan Boston College for Entre­pre­neur­ship. Selain itu, Amerika juga ber­sedia mengembangkan ker­ja­sama lebih formal dengan ca­kup­an yang lebih luas, meliputi bi­dang investasi, perdagangan, pe­ngembangan energi ramah ling­kungan, kewirausahaan dan transfer teknologi bagi UKM. 
 
Ada kemungkinan cara Indo­ne­sia dalam pengembangan UKM akan didopsi oleh negara lain?

Indonesia hanya memberikan cerita sukses yang pernah kita la­kukan dan ternyata ada beberapa negara yang sudah melakukan hal tersebut. Namun bisa saja cerita sukses ini akan banyak ditiru oleh ne­gara-negara lain. Karena me­reka kebanyakan punya suku bunga yang rendah dan itu akan mem­bantu dalam mengem­bang­kan SME.

Apa yang diajukan Indonesia dalam pertemuan itu?

Ada dua, yang pertama yaitu pengem­bang­an incubator bagi UKM un­tuk mempromosikan Green In­dustry yang akan dilaksanakan di Yogyakarta pada bulan Sep­tem­ber 2011 dan yang kedua yaitu pengembangan akses teknologi bagi UKM yang akan dilaksanakan pada bulan Ok­tober 2011. 

Apakah ini terkait untuk mem­buat eco-product di kalangan UKM Indonesia ?

Hal ini yang kami sampaikan juga, bahwa pemerintah sangat pe­duli dengan isu lingkungan un­tuk menjaga kelestariannya. In­do­nesia akan mengembangkan pro­duk UKM yang ramah ling­kung­an, tentunya dengan transfer tek­nologi dari negara lain untuk me­wujudkan hal tersebut. Kami sudah katakan bahwa komitmen In­­donesia dalam hal menurunkan emisi dunia merupakan kepe­du­lian secara nasional. Indonesia akan berkomitmen akan me­nu­runkan emisi dunia menjadi 26 per­sen dan apabila dilakukan bersama dengan negara lain bisa diturunkan hingga 41 persen. 

1.3     Faktor-Faktor Penghambat Ekspor Produk UKM

1.      Akses Terhadap Sumber Daya Produktif

Akses terhadap sumber daya produktif merupakan aset yang harus dimiliki pelaku bisnis. Akses terhadap sumberdaya produktif merupakan faktor yang menentukan dalam kelancaran dan keberhasilan aktivitas bisnis. Dalam hal ini, UKM masih menghadapi hambatan dalam mengakses sumberdaya produktif. Temuan lapang menunjukkan bahwa hambatan UKM dalam mengakses sumberdaya produktif terdapat pada pembiayaan dan pemasaran (64,29 persen), Jaringan bisnis (57,14 persen) dan teknologi (42,86 persen).

 
Kondisi tersebut di atas memerlukan bantuan/fasilitasi sebagai upaya meningkatkan akses UKM terhadap sumberdaya produktif. Bentuk fasilitasi yang dapat dilakukan adalah menyediakan pembiayaan dengan perlakuan tertentu, baik untuk investasi maupun modal kerja, yang memenuhi criteria persyaratan mudah, mekanisme cepat, dan biaya murah. Di samping itu, diperlukan fasilitasi yang diarahkan pada pengembangan jaringan bisnis UKM agar UKM dapat meningkatkan akses pasar produknya.
 
Dalam era perdagangan bebas menuntut setiap pelaku bisnis memiliki akses yang cukup terhadap pasar untuk meningkatkan daya saingnya. Akses terhadap pasar merupakan kunci keberhasilan kegiatan ekspor. Justru hal inilah yang merupakan titik lemah yang dimiliki UKM pada umumnya. Sebagian besar UKM masih mengalami kesulitan dalam menembus pasar ekspor, sehingga memerlukan fasilitasi pihak lain untuk meningkatkan akses pasar ekspornya, baik pemerintah maupun mitra usahanya.

Hal ini ditunjukkan dengan temuan lapang bahwa sebagian besar UKM sampel memperoleh akses pasar ekspor melalui keikutsertaan pameran (85,71 persen) dan informasi dari mitra usahanya (71,43 persen). Sedang sebagian kecil memperolehnya melalui media masa (28,57 persen) dan internet (14,26 persen). Kondisi seperti uraian di atas, mengindikasikan bahwa UKM masih memerlukan upaya untuk meningkatkan akses pasar ekspornya. UKM dituntut untuk proaktif dalam mengakses pangsa pasar ekspor produknya. Dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya, UKM memerlukan fasilitasi dari pihak lain, termasuk pemerintah, untuk meningkatkan aksesibiltas terhadap pasar ekspor. Upaya ini dapat dilakukan melalui penyediaan dan penyebarluasan informasi, yang sesuai dengan kebutuhan UKM dalam kegiatan ekspor, terutama yang berkaitan dengan spesikasi produk dan negara tujuan ekspor.

2.      Spesifikasi Produk

Pelaku bisnis dituntut untuk dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan selera konsumen atau permintaan pasar, yang memiliki kecenderungan cepat berubah, sehingga peredaran suatu produk di pasar memiliki siklus yang relatif pendek. Hal ini akan lebih memicu kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan daya saing produk. Namun demikian, hal ini pun merupakan kelemahan yang dimiliki UKM. UKM mengalami kesulitan dalam menghasilkan spesifikasi produk yang sesuai dengan perkembangan selera konsumen.

Temuan lapang memperlihatkan bahwa sebagian besar UKM sampel mengalami hambatan dalam desain (92,86 persen) dan kemasan (64,29 persen), sedangkan sebagian kecil mengalami hambatan pada warna (28,57 persen) dan bentuk (14,29 persen). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan UKM mengalami hambatan dalam menghasilkan produk dan kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk sesuai dengan selera konsumen. Karena itu, UKM memerlukan pelatihan dan magang untuk meningkatkan keterampilan dalam menghasilkan produk yang berdaya saing. UKM memerlukan fasilitasi yang berkaitan dengan kebutuhan peralatan/teknologi dalam upaya meningkatkan kualitas dan inovasi produk. Dengan demikian, UKM memiliki kemampuan untuk menghasilkan diversifikasi produk, sehingga tidak bertumpu pada produk-produk tradisional yang memiliki keunggulan komparatif, seperti pakaian jadi dan beberapa produk tekstil lainnya, barang barang jadi dari kulit, seperti alas kaki, dan dari kayu, termasuk meubel/furnitur.

3.      Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pelaku bisnis dalam memasarkan produknya. Buyer pada pasar ekspor menuntut persyaratan yang ketat dalam melakukan transaksi dengan eksportir. Pesanan yang diminta buyer cenderung menitikberatkan pada kesinambungan dan konsistensi ketersediaan produk.
Dalam memasarkan produknya, UKM seringkali dihadapkan pada kemampuan menyediakan produk sesuai dengan jumlah pesanan, sehingga terjadi kegagalan kontrak pesanan produk. Hal ini berkaitan dengan kapasitas produksi yang dimilikinya masih relatif rendah, padahal dari spesikasi produk sudah memenuhi keinginan buyer. Temuan lapang memperlihatkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya kapasitas produksi UKM sampel. Faktorfakto tersebut antara lain ketersediaan modal (92,86 persen), ketersedian mesin/peralatan dan penguasaan teknologi (64,29 persen), ketersediaan bahan baku (42,86 persen) dan ketersediaan tenaga kerja terampil (14,29 persen).

Temuan lapang di atas mengindikasikan bahwa hambatan kapasitas produksi pada UKM masih terkait dengan akses UKM terhadap sumberdaya produktif, terutama sumber permodalan dan ketersediaan mesin/peralatan serta penguasaan teknologi. Hal tersebut makin menguatkan fenomena yang terjadi selama ini bahwa UKM dihadapkan pada faktor kritis yang bersifat klasik, yang belum bergeser dari waktu ke waktu, yakni permodalan dan teknis produksi. Karena itu, seyogianya fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing UKM, diarahkan pada peningkatan kemampuan UKM dalam mengatasi hambatan faktor-faktor tersebut.
 
4.      Kelengkapan Dokumen Ekspor

Kelengkapan dokumen merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan kegiatan ekspor. Dalam hal ini UKM sampel memiliki kesulitan untuk memenuhinya, sehingga menghambat kegiatan ekspornya. Hambatan tersebut terutama berkaitan dengan sertifikasi produk (71,43 persen), letter of credit (57,14 persen), NPWP (43,29 persen), dan lainnya (28,57 persen).

Hambatan ini terjadi karena selama ini UKM tidak sungguh-sungguh untuk mengurus dokumen tersebut. Beberapa alasan yang dapat diidentiikasi sebagai penyebabnya adalah UKM merasakan kesulitan dalam memenuhi persyaratan dan prosedur yang memakan waktu relatif lama, dengan biaya yang cukup memberatkan. Karena itu, perlu upaya untuk mengurangi hambatan yang berkaitan dengan hal ini, yaitu dengan menerapkan persyaratan yang mudah, prosedur yang sederhana, dan biaya yang tidak memberatkan UKM.

5.      Biaya Kegiatan Ekspor

Biaya yang tidak sedikit harus dikeluarkan dalam kegiatan ekspor, merupakan hambatan yang dialami UKM. Hal ini menjadi faktor yang menurunkan daya saing ekspor produk UKM karena harga jual produk menjadi relatif tinggi dibandingkan eksportir produk sejenis dari negara lain. Temuan lapang menunjukkan bahwa pengeluaran biaya dalam kegiatan ekspor, yang menjadi hambatan paling besar bagi UKM adalah justru komponen biaya lainnya (85,79 persen), yaitu berupa pungutan tidak resmi atau biaya siluman. Kemudian, biaya yang berkaitan dengan perizinan dan transportasi (71,43 persen) serta risiko atau jaminan produk sesuai pesanan (50,00 persen). Karena itu, seyogianya menjadi perhatian pihak terkait dalam membuat peraturan, yang memiliki konsekuensi biaya yang harus dibayar pelaku bisnis dalam kegiatan ekspor. Apabila hal ini dibiarkan terus terjadi, maka kegiatan ekspor, khususnya yang dilaksanakan oleh UKM, akan menjadi makin sulit karena makin rendahnya daya saing.

BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan

a.   Kontribusi UKM dalam kegiatan ekspor masih relatif rendah dibandingkan dengan usaha besar dengan rasio 1:4, di mana sebagian besar bertumpu pada produk kerajinan dan barang seni, garmen, serta makanan dan minuman;
b.  Faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi UKM dalam kegiatan ekspor, secara berturut-turut dari derajat yang berat sampai ringan dalam beberapa aspek berikut :
·   Aksesibiltas terhadap sumberdaya produktif adalah pembiayaan dan pemasaran, jaringan bisnis, dan teknologi
·      Spesifikasi produk adalah desain, kemasan, warna, dan bentuk
·      Kapasitas produksi adalah ketersediaan modal, ketersedian mesin/peralatan dan penguasaan teknologi, ketersediaan bahan baku, dan ketersediaan tenaga kerja terampil;
·    Kelengkapan dokumen adalah sertifikasi produk, letter of credit, dan NPWP
·     Biaya kegiatan ekspor adalah komponen biaya siluman, perizinan dan transportasi, serta risiko/jaminan produk sesuai pesanan.

DAFTAR PUSTAKA